Nama:
Theofillia Agatha
NIM:
915190032
Kelas:
E
Artikel: “Teori Negosiasi Wajah”
Pada kali ini, saya selaku mahasiswi
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara akan membahas suatu teori
yaitu teori negosiasi wajah. Pertama-tama, mari kita pelajari terlebih dahulu
mengenai teori negosiasi wajah sendiri. Stella Ting Toomey atau kerap dikenal
dengan Ting Toomey, beliau adalah seorang profesor komunikasi di California
State University, Fullerton. Beliau adalah pencetus pertama dari teori negosiasi
wajah.
Latar belakang dari teori negosiasi
wajah sendiri terdapat di dalam buku cetak yaitu menjelaskan bahwa pada saat
itu Kevin (mahasiswa) telah diberi tugas sejak masa awal semester, lalu ia
mengetahui bahwa sisa waktu yang ada tidak akan cukup baginya untuk
menyelesaikan tugas. Maka, ia berusaha untuk menegosiasikan hasil yang berbeda
dengan profesornya.
Dari kejadian tersebut, menekankan
pemikiran di balik teori negosiasi wajah. Teori ini bersifat multifaset,
menggabungkan penelitian dari komunikasi antarbudaya, konflik, kesopanan, dan “facework” atau efek wajah/tatap muka.
Ting Toomey berpendapat bahwa wajah dapat dimaknai melalui dua cara utama yaitu
perhatian wajah dan kebutuhan wajah.
Selanjutnya mengenai teori wajah dan
kesopanan. Brown dan Levinson (1987) mereka adalah pakar teori kesopanan
menemukan dua jenis kebutuhan universal. Yang pertama adalah wajah positif
(keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang terdekat) dan yang kedua
adalah wajah negatif (keinginan untuk menjadi mandiri dan tidak dibatasi).
Kerja wajah dari teori negosiasi
wajah sendiri merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan atau keinginan wajah diri sendiri ataupun orang lain. Kerja wajah
sendiri terdiri dari tiga jenis yang pertama adalah kerja wajah bijaksana
(memberi kebebasan individu untuk bertindak sesuai keinginannya), yang kedua
adalah kerja wajah solidaritas (perbedaan diperkecil, persamaan ditonjolkan),
dan yang terakhir adalah kerja wajah persetujuan/penerimaan (usaha meminimalkan
kesalahan dan memaksimalkan pujian untuk orang lain).
Teori negosiasi wajah sendiri
terdiri dari tiga asumsi yaitu identitas diri (meliputi pengalaman kolektif,
pikiran, ide, ingatan, dan rencana individu), konflik (konflik dapat merusak
wajah sosial individu dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua
orang), dan dampak (tindakan pada setiap wajah pasti berkaitan dengan dampak).
Selanjutnya adalah manajemen wajah
dan budaya. Manajemen wajah memiliki sifat yaitu dalam usaha individu melindungi
wajahnya. Sedangkan budaya terdiri dari dua yaitu budaya individualistis
(berorientasi pada wajah diri) budaya individualistis mempengaruhi gaya-gaya
konflik seperti menghindar, dominasi, kompromi, dan kesediaan membantu. Budaya
yang kedua adalah budaya kolektivisme (menekankan pentingnya tujuan kelompok di
atas tujuan individu).
Dikutip dari web Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Tarumanagara dalam jurnal koneksi yang berjudul
“Interaksi Sosial antara Kelompok Masyarakat Dayak dan Kelompok Masyarakat Tionghoa
di Singkawang” saya menemukan suatu studi kasus di mana terdapat dua kelompok
masyarakat yang berasal dari dua budaya yang berbeda tinggal di dalam satu
lingkungan.
Menurut saya kasus ini sangat
berhubungan dengan teori negosiasi wajah sendiri di mana kita sebagai
masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, ras, dan
budaya pastinya harus saling menghormati (menunjukkan wajah positif) demi
kenyamanan dan keamanan bersama. Di negara Indonesia sendiri pasti banyak yang
berusaha menunjukkan wajah positifnya tetapi tidak sedikit juga orang-orang
yang menunjukkan wajah negatif.
Seperti yang tertulis dalam jurnal
yang berjudul “Interaksi Sosial antara Kelompok Masyarakat Dayak dan Kelompok
Masyarakat Tionghoa di Singkawang” (Wensi & Suzy, 2017) tertulis bahwa
interaksi sosial antara kelompok masyarakat Dayak dan Tionghoa berjalan relatif
baik karena adanya rasa saling terbuka dan menghormati (bentuk dari kerja wajah
solidaritas).
Tetapi menurut saya, di setiap
hubungan atau interaksi sosial pasti terdapat suatu konflik (baik besar maupun
kecil) seperti yang terdapat pada jurnal, dituliskan bahwa terdapat hambatan
dalam proses interaksi seperti stereotype,
etnosentrisme, dan perbedaan bahasa (bentuk dari asumsi kedua yaitu
“konflik”. Konflik dapat merusak wajah sosial individu dan dapat mengurangi
kedekatan hubungan antara dua orang atau bahkan lebih).