Friday, May 8, 2020

Teori Negosiasi Wajah


Nama: Theofillia Agatha
NIM: 915190032
Kelas: E
Artikel: “Teori Negosiasi Wajah”
            Pada kali ini, saya selaku mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara akan membahas suatu teori yaitu teori negosiasi wajah. Pertama-tama, mari kita pelajari terlebih dahulu mengenai teori negosiasi wajah sendiri. Stella Ting Toomey atau kerap dikenal dengan Ting Toomey, beliau adalah seorang profesor komunikasi di California State University, Fullerton. Beliau adalah pencetus pertama dari teori negosiasi wajah.
            Latar belakang dari teori negosiasi wajah sendiri terdapat di dalam buku cetak yaitu menjelaskan bahwa pada saat itu Kevin (mahasiswa) telah diberi tugas sejak masa awal semester, lalu ia mengetahui bahwa sisa waktu yang ada tidak akan cukup baginya untuk menyelesaikan tugas. Maka, ia berusaha untuk menegosiasikan hasil yang berbeda dengan profesornya.
            Dari kejadian tersebut, menekankan pemikiran di balik teori negosiasi wajah. Teori ini bersifat multifaset, menggabungkan penelitian dari komunikasi antarbudaya, konflik, kesopanan, dan “facework” atau efek wajah/tatap muka. Ting Toomey berpendapat bahwa wajah dapat dimaknai melalui dua cara utama yaitu perhatian wajah dan kebutuhan wajah.
            Selanjutnya mengenai teori wajah dan kesopanan. Brown dan Levinson (1987) mereka adalah pakar teori kesopanan menemukan dua jenis kebutuhan universal. Yang pertama adalah wajah positif (keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang terdekat) dan yang kedua adalah wajah negatif (keinginan untuk menjadi mandiri dan tidak dibatasi).
            Kerja wajah dari teori negosiasi wajah sendiri merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan wajah diri sendiri ataupun orang lain. Kerja wajah sendiri terdiri dari tiga jenis yang pertama adalah kerja wajah bijaksana (memberi kebebasan individu untuk bertindak sesuai keinginannya), yang kedua adalah kerja wajah solidaritas (perbedaan diperkecil, persamaan ditonjolkan), dan yang terakhir adalah kerja wajah persetujuan/penerimaan (usaha meminimalkan kesalahan dan memaksimalkan pujian untuk orang lain).
            Teori negosiasi wajah sendiri terdiri dari tiga asumsi yaitu identitas diri (meliputi pengalaman kolektif, pikiran, ide, ingatan, dan rencana individu), konflik (konflik dapat merusak wajah sosial individu dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang), dan dampak (tindakan pada setiap wajah pasti berkaitan dengan dampak).
            Selanjutnya adalah manajemen wajah dan budaya. Manajemen wajah memiliki sifat yaitu dalam usaha individu melindungi wajahnya. Sedangkan budaya terdiri dari dua yaitu budaya individualistis (berorientasi pada wajah diri) budaya individualistis mempengaruhi gaya-gaya konflik seperti menghindar, dominasi, kompromi, dan kesediaan membantu. Budaya yang kedua adalah budaya kolektivisme (menekankan pentingnya tujuan kelompok di atas tujuan individu).
            Dikutip dari web Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara dalam jurnal koneksi yang berjudul “Interaksi Sosial antara Kelompok Masyarakat Dayak dan Kelompok Masyarakat Tionghoa di Singkawang” saya menemukan suatu studi kasus di mana terdapat dua kelompok masyarakat yang berasal dari dua budaya yang berbeda tinggal di dalam satu lingkungan.
            Menurut saya kasus ini sangat berhubungan dengan teori negosiasi wajah sendiri di mana kita sebagai masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, ras, dan budaya pastinya harus saling menghormati (menunjukkan wajah positif) demi kenyamanan dan keamanan bersama. Di negara Indonesia sendiri pasti banyak yang berusaha menunjukkan wajah positifnya tetapi tidak sedikit juga orang-orang yang menunjukkan wajah negatif.
            Seperti yang tertulis dalam jurnal yang berjudul “Interaksi Sosial antara Kelompok Masyarakat Dayak dan Kelompok Masyarakat Tionghoa di Singkawang” (Wensi & Suzy, 2017) tertulis bahwa interaksi sosial antara kelompok masyarakat Dayak dan Tionghoa berjalan relatif baik karena adanya rasa saling terbuka dan menghormati (bentuk dari kerja wajah solidaritas).
            Tetapi menurut saya, di setiap hubungan atau interaksi sosial pasti terdapat suatu konflik (baik besar maupun kecil) seperti yang terdapat pada jurnal, dituliskan bahwa terdapat hambatan dalam proses interaksi seperti stereotype, etnosentrisme, dan perbedaan bahasa (bentuk dari asumsi kedua yaitu “konflik”. Konflik dapat merusak wajah sosial individu dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang atau bahkan lebih).

No comments:

Post a Comment